Senin, 17 Februari 2014

Soekarno Mengganti Sila Pertama Piagam Jakarta


SETELAH rapat berhari-hari �Soekarno mneyebutnya �berkeringat-keringat��akhirnya pada 22 Juni 1945 Piagam Jakarta disahkan bersama. Dalam persidangan itu �baca buku Piagam Jakarta karya Endang Saifuddin Zuhri�debat berlangsung sengit. Mulai dari masalah presiden harus orang Islam, dasar Negara harus Islam dan lain-lain.

Setelah perdebatan berlangsung lama, maka disetujuilah Piagam Jakarta yang isinya pembukaan UUD 45 yang juga mencakup Pancasila. Dimana sila I berbunyi Ketuhanan Dengan Kewajiban Menjalankan Syariat Islam bagi Pemeluk-Pemeluknya.

Piagam Jakarta yang dikawal empat tokoh Islam ini bila kita cermati beda dengan Pancasila rumusan Soekarno dan Yamin. Dimana masalah Ketuhanan, Keadilan dan Musyawarah mendapat tempat yang penting dalam sila-sila itu.

Tapi sayangnya Piagam Jakarta yang telah matang disetujui bersama untuk dibacakan pada proklamasi tanggal17 Agustus dan akan disahkan pada 18 Agustus 1945 itu digagalkan Soekarno dan kawan-kawannya. Pagi-pagi buta jam 4, Soekarno mengajak Hatta ke rumah Laksamana Maeda untuk merumuskan teks proklamasi. Naskah dari Panitia Sembilan dimentahkan di rumah perwira Jepang itu dan diganti coret-coretan teks proklamasi yang sangat ringkas.

Dan ujungnya pada tanggal 18 Agustus 1945, Piagam Jakarta juga diubah mendasar. Lewat rapat kilat yang berlangsung tidak sampai tiga jam, hal-hal penting yang berkenaan dengan Islam dicoret dari naskah aslinya. Dalam rapat yang mendadak yang diinisiatif oleh Soekarno (dan Hatta) itu, empat wakil umat Islam yang ikut dalam penyusunan Piagam Jakarta tidak hadir. Yang hadir adalah Kasman Singodimedjo dan Ki Bagus Hadikusumo. Yang lain adalah Soekarno, Hatta, Supomo, Radjiman Wedyodiningrat, Soeroso, Soetardjo, Oto Iskandar Dinata, Abdul Kadir, Soerjomihardjo, Purbojo, Yap Tjwan Bing, Latuharhary, Amir, Abbas, Mohammad Hasan, Hamdhani, Ratulangi, Andi Pangeran dan I Bagus Ketut Pudja.

Dalam rapat yang dipimpin Soekarno yang berlangsung pada jam 11.30-13.45 itu diputuskan : Pertama, Kata Mukaddimah diganti dengan kata Pembukaan. Kedua, Dalam Preambul (Piagam Jakarta), anak kalimat: �berdasarkan kepada Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya, diubah menjadi �berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa�. Ketiga, Pasal 6 ayat 1, �Presiden ialah orang Indonesia asli dan beragama Islam�, kata-kata �dan beragama Islam� dicoret. Keempat, Sejalan dengan perubahan yang kedua di atas, maka Pasal 29 ayat 1 menjadi �Negara yang berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa�, sebagai pengganti �Negara berdasarkan atas Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.�

Keputusan Soekarno-Hatta dan orang-orang nasionalis sekuler itu akhirnya dikecam keras oleh tokoh Islam Prawoto Mangkusasmito. Ia menyebut ada �pertanyaan sejarah�. Ia mengatakan: �Apa sebab rumus Piagam Jakarta yang diperdapat dengan susah payah, dengan memeras otak dan tenaga berhari-hari oleh tokoh-tokoh terkemuka dari bangsa kita, kemudian di dalam rapat �Panitia Persiapan Kemerdekaan� pada tanggal 18 Agustus 1945 di dalam beberapa menit saja dapat diubah? Apa, apa, apa sebabnya?�

Tahun 1957, dalam Sidang Konstituante, KH M Isa Anshari juga menggugat pencoretan tujuh kata itu : �Kejadian yang mencolok mata itu, dirasakan oleh umat Islam sebagai suatu permainan sulap yang masih diliputi oleh kabut rahasia sebagai permainan politik pat gulipat terhadap golongannya, akan tetapi mereka diam tidak mengadakan tantangan dan perlawanan karena jiwa toleransi mereka. Tidak dapat dihindari pertanyaan: �Kekuatan apakah yang mendorong dari belakang hingga perubahan itu terjadi? Penulis tidak tahu apakah pertanyaan ini masih dapat dijawab dengan jujur dan tepat. Apakah sebabnya Ir Soekarno yang selama sidang-sidang Badan Penyelidik dengan mati-matian mempertahankan Piagam Jakarta, kemudian justru memelopori usaha untuk mengubahnya? Penulis tidak tahu.�

Meski tokoh-tokoh Islam saat itu protes keras, karena merasa dikhianati oleh Soekarno, tapi mereka lebih memilih jalan damai. Kecuali mungkin DI/TII karena merasa sangat kecewa dengan berbagai tindakan Soekarno dalam pemerintahannya. Apalagi Soekarno saat itu berjanji bahwa di masa damai nanti akan lebih tenang menyusun kembali Undang-Undang Dasar.

Maka setelah pemilu yang berlangsung demokratis dan damai pada 1955, masalah dasar Negara ini ramai diperbincangkan. Ujungnya pada tahun 1957-1959 Majelis Konstituante membahas masalah dasar Negara ini di parlemen. Perdebatan yang berlangsung keras selama dua tahun itu sangat menarik dan mengandung argumen-argumen yang mendasar tentang dasar Negara. Saat itu ada tiga kelompok. Kelompok Islam yang diwakili partai Masyumi , Nahdlatul Ulama dan lain-lain menginginkan dasar Negara Islam. Kelompok Nasionalis sekuler yang diwakili PNI, PKI dan lain-lain mengajukan Pancasila sebagai Dasar Negara dan Kelompok Buruh menginginkan ekonomi kerakyatan sebagai dasar Negara.

Sayang perdebatan yang bermutu itu kemudian dibubarkan oleh Presiden Soekarno. Majelis Konstituante dibubarkan dan presiden kemudian mengeluarkan Dekrit Presiden pada 5 Juli 1959 yang intinya mengembalikan UUD 45 sebagai dasar Negara dan menyatakan bahwa (untuk menampung aspirasi kelompok Islam) Piagam Jakarta menjiwai UUD 45 dan merupakan satu rangkaian kesatuan yang tidak terpisahkan.

Presiden Soekarno saat memperingati Hari Lahir Piagam Jakarta, 22 Juni 1965 menyatakan: �Nah Jakarta Charter ini saudara-saudara sebagai dikatakan dalam Dekrit, menjiwai UUD 1945 dan merupakan satu rangkaian kesatuan dengan Konstitusi tersebut. Jakarta Charter ini saudara-saudara, ditandatangani 22 Juni 1945. Waktu itu jaman Jepang�Ditandatangani oleh �saya bacakan ya� Ir Soekarno, Drs Mohammad Hatta, Mr AA Maramis, Abikusno Cokrosuyoso, Abdul Kahar Muzakkir, Haji Agus Salim, Mr Achmad Subardjo, Wahid Hasyim, dan Mr Mohammad Yamin, 9 orang.� [Sumber: Fimadani, Nuim Hidayat, Peneliti Insists, Dosen Universitas Az Zahra, Jakarta]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar